Jumat, 18 Juli 2008

Bangga Jadi Orang Indonesia


(diposting dari sebuah millis)

Anda orang Indonesia?
Masih tinggal di Indonesia?
Di JaTINANGOR?
Ke kampus naik bis umpel-umpelan?
Lalu lintas macet?
Pernah naik kereta super ekonomi ke Yogya or Surabaya?
Pernah kebanjiran?
Pernah dipalakin di bus sama gerombolan preman?

Ok, sekarang saya serius. Kalau Ada yang bertanya: apa sih yang bisa dibanggakan
for being Indonesian?
Maka jawaban saya adalah : Kita.
Kita harus bangga karena kita orang Indonesia bisa dan biasa hidup susah!!!

Becanda lagi nih?
Nggak, saya serius!! Saya nggak boong.
Kalau saya boong biarkan Tuhan memberikan cobaan yang berat pada saya (red: katanya harta yang berlimpah merupakan cobaan yang berat).

Kemampuan untuk hidup susah (saya sebut aja "survival ability" ya) tidak dimiliki orang-orang yang lama hidup di negara-negara mapan.

Boss saya (orang India) pernah cerita: suatu ketika temannya - sebut saja Sarukh dan keluarganya - pamit pada boss saya pulang ke negara asalnya India yang murah meriah untuk menikmati pensiun dini, setelah 15 tahun kerja di Singapore.

Eh, belum satu tahun pamitan pulang ke India... si Sarukh sudah balik lagi ke Singapore, dan kali ini minta bantuan Boss saya untuk dicariin kerjaan lagi di Singapore. What happened? Tanya boss saya.

Sarukh bercerita, setelah pulang ke India, anak remajanya yang dibesarkan di Singapore menjadi rada-rada stress dan menjadi pasien tetap psikiater disana. Selidik punya selidik agaknya hal itu disebabkan karena anaknya Sarukh tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dari kondisi yang sangat mapan (Singapore) ke kondisi yang sebaliknya (India). Jadi, dalam hal ini, anak si Sarukh yang sudah biasa hidup dalam kemapanan tidak punya "kemampuan bertahan waras" untuk hidup di negara yang belum mapan. Demi kebaikan anaknya, akhirnya si Sarukh memutuskan menunda pensiun dini-nya dan kembali kerja di Singapore. Kalau kita-kita yang sudah biasa hidup susah di Jakarta, pindah or berkunjung ke India sih nggak ada masalah.

Saya jadi ingat, 2 tahun lalu ketika saya dan rekan2 kerja saya berkunjung ke India, boss saya wanti-wanti untuk bawa obat sakit perut, dan selama di India hanya minum-minuman dari botol/kaleng. Kalau ke restoran local jangan sekali-kali minum air putih yang disediakan dari dari teko/ceret di restoran tersbut, karena kebersihan airnya tidak terjamin, dan biasanya perut orang asing tidak siap untuk itu; begitu nasehat boss saya.

Pada waktu itu satu rombongan yang berangkat ke India terdiri dari 5 orang. Satu orang dari Jepang, dua orang Singapore dan dua orang Indonesia (termasuk saya baru sebulan kerja di Singapore). Dalam 2 minggu kunjungan ke India, kolega dari Singapore dan Jepang langsung menderita diare di minggu pertama ke India. Diselidiki, kemungkinan penyebabnya adalah mereka pernah memesan kopi atau the di restoran local pada saat makan siang (yang tentunya tidak dari botol). Sementara si orang Jepang, walaupun secara ketat dia hanya minum-minuman botol atau kaleng selama makan di restoran-restoran lokal, terkena diare diduga karena si orang jepang ini menggunakan air keran dari hotel untuk berkumur-kumur selama sikat gigi. Sedangkan saya dan satu orang rekan lagi dari Indonesia, sehat walafiat, tidak menderita suatu apapun selama di sana (mungkin karena di Indoneisa, sudah terbiasa jajan es dipinggir jalan yang mungkin airnya tidak lebih bersih dari air di restoran-restoran India).

What is the moral of the story?

Kita harus bangga karena kita bisa lebih baik dari orang Jepang dan Singapore!!!
(at least, dalam hal ketahanan perut).

Cerita lainnya lagi, bulan lalu saya di kirim kantor (yang base-nya di Singapore) untuk mengikuti sebuah workshop di Rio de Janeiro, Brazil. Total waktu tempuh saya dari Singapore ke hotel saya di Rio de Janeiro Brazil adalah 36 jam (termasuk 5 jam transit di Eropa). Sebenarnya, dari Singapore ke Brazil, jalur yang paling umum dan cepat adalah ke arah Timur, transit di Amerika, terus ke Brazil. Dengan jalur ini saya perkirakan, dalam 26-30 Jam saya sudah bisa mencapai Brazil. Cuma, karena saya orang Indonesia, untuk transit di Amerika pun saya butuh apply VISA Amerika, yang mana proses aplikasi visa tersebut memerlukan waktu sedikitnya 2 minggu. Padahal, saya tidak punya waktu sebanyak itu.

Alhasil, yah begitulah, saya harus memilih rute yang sebaliknya, mengeliling belahan bumi bagian barat, transit di Amsterdam, dengan waktu tempuhnya 6-10 jam lebih lama. Jadinya, cukup melelahkan, tapi nggak apa-apa, namanya juga orang Indonesia, harus terbiasa dengan hal-hal yang susah-susah.

Saya sampai di hotel di Rio, hari minggu jam 11 Malam. Dan keesokan paginya saya langsung mengikuti workshop di sana. Walaupun masih terasa lelah, saya tetap berusaha untuk terlibat aktif dalam workshop pagi itu, dengan mengajukan pertanyaan atau memberi masukan atas pertanyaan peserta lainnya.

Pada saat istirahat, saya sempat berbincang-bincang dengan kolega-kolega dari Jerman peserta workshop itu. Beberapa dari mereka mengeluh kecapaian dan menderita "jet lag", karena mereka telah menempuh 12 jam perjalanan dari Jerman, dan baru saja tiba di Brazil hari minggu siang, sehingga belum cukup waktu istirahat untuk adaptasi Jet lag, begitu keluh mereka. Lalu, saya berkata pada mereka, bahwa sebenarnya mereka lebih beruntung dari saya, karena saya harus menempuh 36 jam perjalanan dari Singapore, dan baru tiba di hotel pukul sebelas malem, kurang dari 12 jam sebelum workshop dimulai.

Mereka tertegun, salah seorang dari mereka bertanya pada saya: "Tapi kamu naik pesawat, di kelas Bisnis khan?"
"Tidak, jatah saya Cuma kelas ekonomi", jawab saya lagi. Mereka terlihat semakin terkagum-kagum (atau kasihan?), dan salah seorang dari mereka memuji. "Its very impressive, you guys Singaporean are really-really hard workers"
"I'm not Singaporean, I'm Indonesian working in Singapore" jawab saya dengan bangga.

Agaknya, hari itu saya menjadi cukup terkenal di kalangan Kolega dari Jerman, hanya karena terbang selama 36 jam dari Singapore 12 jam sebelumnya dan masih bisa secara aktif mengikuti workshop tersebut. Saya tahu kalau saya menjadi pembicaraan mereka, karena sewaktu makan malam, kolega dari jerman lainnya - yang saya tidak pernah ceritakan mengenai perjalanan saya dari Singapore? bertanya pada saya tips and trick supaya bisa tetap segar setelah menempuh perjalanan begitu lama (ini berarti dia mendapatkan cerita saya dari kolega jerman lainnya).

Saya bingung jawabnya. Ingin sekali saya menjawab: "Berlatihlah dengan naik kereta api super ekonomi dari Jakarta ke Surabaya di saat-saat mendekati hari lebaran. Kalau Anda terbiasa dengan alat transportasi ini - dimana tidak hanya species "Homo Sapiens" yang bisa menjadi penumpangnya, dan di tambah lagi waktu tempuhnya yang lama sekali karena hampir di setiap stasion harus berhenti, maka Anda akan bisa menaklukkan semua alat transportasi terbang apapun yang di muka bumi ini".

Namun, saya urungkan memberi jawaban di atas, karena saya khawatir dia tidak akan mengerti atas apa yang saya jelaskan, saya yakin mereka tidak bisa "survive" dengan alat transportasi ini, yang fasilitasnya tentu jauh dari kelas bisnis pesawat terbang (Note: kolega saya dari jerman, otomatis mendapat fasilitas kelas bisnis di pesawat apabila waktu tempuhnya lebih dari 10 jam).

Seminggu, setelah saya pulang dari Workshop di Brazil, ntah karena terkagum-kagum dengan "kemampuan hidup susah" (dari sudut pandang mereka) yang saya miliki, atau karena alasan lainnya, kolega saya dari Jerman yang saya temui di Brazil, menghubungi atasan saya yang intinya meminta saya untuk ditugaskan ke Jerman, membantu project yang saat ini sedang berjalan di sana.

Alhasil, bulan September - November saya akan bergabung dengan kolega-kolega di Jerman menyelesaikan project disana. Cukup membanggakan, karena, kata boss saya, ini kali pertama "Kantor Pusat" meminta bantuan dari kantor cabang untuk mensupport project yang sedang mereka kerjakan di kantor pusat.

Jadi setelah membaca tulisan ini, saya harap pembaca sekalian punya alasan semakin bangga menjadi orang Indonesia. Kalau anda lagi di luar negeri dan ditanya "Anda dari mana?" Jawablah dengan bangga: Ya, Saya dari Indonesia, negara yang lagi susah, saya juga hidupnya susah, tapi saya bisa "survive", dan saya bangga karenanya!!!

Any problem???

gimana? ada yg bisa tambahkan alasan2 lain lagi untuk bangga dgn Indonesia?

Senin, 14 Juli 2008

Seni Menjawab 'Pertanyaan' Perempuan

(diposting dari Suara Merdeka Online)

Seringkali, perempuan menanyakan pertanyaan yang dilematis. Saat Anda menjawab sekenanya, ia akan tersinggung, namun bila dijawab apa adanya sesuai pikiran Anda, ia malah marah dan tidak terima. Ikuti beberapa tips berikut ini agar Anda tak lagi terjebak dalam situasi yang sulit.

Caranya adalah, tempatkan diri Anda pada posisinya. Cobalah memahami pertanyaaannya dari sudut pandang perempuan. Berikut sedikit contohnya.

Eh, tahu enggak, Doni telah mengkhianati Sarah?

Saat berada dalam keadaan seperti ini, berikan empati lebih kepada pihak perempuan. Anda harus berpendapat bahwa pihak perempuan lah yang dirugikan saat dikhianati. Tentu saja, bila dalam hal ini yang berkhianat adalah pihak laki-laki.

Anda harus memberikan komentar yang membela pihak yang 'tertindas', meskipun bila tokoh yang diceritakan hanyalah karakter dalam sebuah sinetron. Mungkin Anda tidak menganggapnya penting, tapi bagi perempuan, ini penting, untuk mengukur empati Anda.

Apakah menurutmu dia cantik?

Dia bisa saja menanyakan pertanyaan itu saat berbicara mengenai mantan pacar Anda, teman kerja, maupun gadis yang Anda berdua temui di mal. Siapa subjeknya, tidak penting. Perempuan hanya tidak mau merasa terancam posisinya oleh siapapun. Saat menghadapi pertanyaan ini, Anda boleh berkata jujur bahwa perempuan itu cantik, tapi jangan sampai terjebak dalam posisi lebih sulit dengan mengatakan dia lebih cantik daripada pasangan Anda.

Anda, sebaiknya, menyelipkan sedikit humor. Dan terakhir, tentu saja, lambungkan hatinya dengan mengatakan , "kamu lebih cantik."

Apakah kamu ingin berkencan dengan Angelina Jolie?

Tentu saja, kalau ada kesempatan, Anda ingin bertemu bahkan berkencan dengan Jolie. Tapi, jangan pernah katakan ini kepada pasangan Anda jika tak ingin ia marah-marah dan meninggalkan Anda dengan muka masam.

Menghadapi pertanyaan semacam itu, jawablah dengan santai, tidak terlalu serius, dan sedikit menggodanya. Anda tak perlu berbohong, namun pasangan Anda tidak kehilangan percaya diri. Misalnya, Anda bisa jawab dengan, "Jolie memang cantik, namun menurutku, bibirnya terlalu lebar. Lebih bagus bibirmu."

Mengapa temanku tega berbuat begitu?

Saat pasangan Anda merasa tersakiti oleh teman atau anggota keluarganya, Anda harus bisa menenangkannya, tanpa ikut-ikutan menjelek-jelekkan orang yang tidak disukainya.